Gambar Sampul Seni Budaya · BAB 8 KRITIK TEATER
Seni Budaya · BAB 8 KRITIK TEATER
Sem Cornelyus Bangun

24/08/2021 12:25:44

SMA 11 2013

Lihat Katalog Lainnya
Halaman

86

kelas XI SMA/SMK/MA/MAK

semester 2

Menyusun Staf Artistik

Pada pelajaran Bab 15, peserta didik diharapkan tanggap dan

melakukan aktifitas berkesenian, yaitu

1.

mendiskripsikan rancangan pementasan teater,

2.

mengidentifikasi kebutuhan pementasan teater,

3.

melakukan eksplorasi tata teknik pentas dalam bentuk

rancangan pentas,

4.

melakukan rancangan tata teknik pentas, dan

5.

mengomunikasikan hasil tata teknik pentas baik secara lisan

maupun secara tulisan.

Aktifitas Mengamati

1.

kamu dapat mengamati pementasan tea

ter bertema keluarga

(rumah tangga) dari sumber lain seperti internet, menonton

melalui video (VCD), dari sumber belajar lainnya.

2.

Kamu dapat mengamati pementasan tea

ter remaja, atau teater

tradisional melaui sumber belajar lain.

Kritik Teater

BAB

8

87

Seni Budaya

Format Hasil Pengamatan Tata Pentas

Nama Anggota

:

Form

at Diskusi Hasil Pengamatan Modifikasi Karya Tari

Nama anggota

:

Hari/t

anggal pengamatan

:

No.

Aspek yang Diamati

Uraian Hasil Pengamatan

1

Tata Panggung

2

Tata Suara

3

Tata Cahaya

Aktifitas Menanyakan

Setelah mengamati pementasan teater dan tata pentas dari

sumber lain.

KRITIK TEATER

Kata

kritik

berasal dari bahasa Yunani

krinien

yang berarti

mengamati, membandingi, dan menimbang. Selanjutnya bahasa

Inggris menyebut

criticism,

dalam bahasa Prancis

critique.

Kritik adalah karangan yang bersifat memberikan pertimbangan

secara jujur atau objektif terhadap hasil karangan orang lain.

Kritik juga harus mengkaji dan mengevaluasi dari berbagai segi

dan penuh pertimbangan. Kritik tidak hanya mencari kesalahan;

kritik yang sehat menyebutkan sifat-sifat yang baik maupun yang

buruk, mempertimbangkan baik buruknya, kemudian memberikan

penilaian yang mantap. Karenanya, kritikus teater memikul tanggung

jawab besar terhadap seni teater, artinya bahwa kritikus teater turut

menentukan masa depan seni teater. Kritikus teater yang bersungguh-

sungguh dan cerdas, akan bisa menjadi penghubung bagi penggiat

teater masa kini dan masa depan. Peranannya tidak hanya sekedar

membimbing penonton teater. tetapi akan memperluas pemahaman

penonton tentang teater. Sedangkan bagi pemain dan sutradara,

merasa diingatkan untuk memaksimalkan pendekatan mereka.

Suatu unsur penting pada kritik teater ialah gaya. Gaya ialah

mengenai cara kritik itu ditulis. Seni bahasa, kearifan atau kebijakan

akal, pengungkapan yang jernih dan tajam, semua unsur-unsur ini

ikut membentuk gaya tulisan dari kritikus teater. Unsur penting yang

lain ialah isi. Isi ialah menyangkut soal apa yang yang dikatakan,

88

kelas XI SMA/SMK/MA/MAK

semester 2

bukan bagaimana cara mengatakannya. Memang tidak mudah

menulis kritik untuk teater, karena sebuah pementasan teater atau

melesat lewat bergerak kedepan dan biasanya tidak cukup sekali

menonton untuk mendapatkan apresiasi penuh.

Maka seringkali sulit bagi bagi kritikus untuk memisahkan

dan memahami ide-ide dan tehnik-tehnik yang turut mendukung

sukses atau kegagalan sebuah pementasan teater.

Kritik teater yang ditulis Raphael Bonitz, kritikus teater Jerman,

di bawah ini mungkin bisa dijadikan contoh untuk menulis kritik

teater yang baik.

MENUJU FESTIVAL SEPANJANG MASA

Oleh: Noorca Marendra

FESTIVAL Teater Remaja (FTR) kesepuluh di TIM dari tanggal

15 hingga 25 Februari 1983 baru berakhir. Sejak diselenggarakannya

tahun 1973 hingga sekarang, lembaga FTR baru menghasilkan enam

grup teater senior yang berhak main di TIM dua kali setahun.

Mereka adalah Lisendra, Teater Remaja Jakarta, Teater GR Jakarta

Timur, Teater Kail, Road Teater dan Art Study Club.

Namun tahun lalu yang sempat main dua kali adalah Art Study

Club, Lisendra. Yang lain main sekali da nada juga yang lenyap

tanpa berita. Sementara mutu pertunjukan itu sendiri hanya satu

dua yang bisa dibilang baik. Selebihnya gombal semata.

* * *

setelah absen dari kegiatan FTR cukup lama, adalah sangat

istimewa memperoleh kesempatan untuk mengamati perkembangan

grup-grup teater remaja di Jakarta tahun ini. Tapi karena harus

berkongkalingkong dengan waktu, maka kesempatan menonton

FTR hanya tinggal separuh. Dari 22 peserta yang tercatat ikut,

hanya 11 grup yang ditonton, sebagian besar bisa dianggap cukup

mewakili seluruh kecenderungan, terutama karena didasarkan pada

“rekomendasi” dari seorang kawan tokoh teater.

* * *

Jose Rizal Manua dari Teater Remaja Adinda sebelumnya dikenal

sebagai penata pentas di TIM. Pemuda ini cukup mengejutkan,

ketika suatu hari menyatakan akan menyutradarai Hamlet karya

Williams Shakespeare. Saya pikir, dia ini nekad sekali. Lalu ketika

kemudian ia mengatakan akan memainkan peranan Hamlet sendiri,

saya mengira pemuda itu sudah gendeng. Tapi ketika ia dan

89

Seni Budaya

grupnya benar-benar tampil 25 Februari dengan dekor, kostum,

music dan gaya Bali dan berhasil memukau penonton selama 280

menit, pemuda itu ternyata tidak hanya gendeng tapi juga hebat.

Ia berhasil mengangkat lakon yang penuh tantangan itu pas

dengan segala potensi yang dimilikinya. Semua pemain beraksi tanpa

pretense, semuanya mengalir secara alami, tanpa kesombongan,

dengan cukup pemikiran, rapih, padu dan enak ditonton. Barangkali

grup inilah penafsiran Hamlet yang berhasil, sesudah Rendra (yang

menterjemahkan lakon itu menjadi sangat komunikatif dan pernah

memainkannya beberapa tahun silam), di Taman Ismail Marzuki.

* * *

KEJUTAN? Barangkali ini salah satunya. Dibandingkan FTR

enam tahun lalu, FTR kali ini memang tahu kebutuhannya untuk

berekspresi telah mengalami banyak perubahan. Rata-rata pemain

yang dimiliki grup peserta, nampak telah cukup mendapat latihan

dan pengarahan. Para festivalis tak lagi kelihatan repot dengan

masalah tehnis pemanggungan. Barangkali tradisi festival telah

menempa mereka menjadi ahli bertanding dan fasih berlomba.

Padahal dulu para pemain seperti sekarang sungguh sulit ditemukan.

Kualitas para pemain babak final FTR ini tidak berbeda dengan

yang dimiliki generasi senior kedua sesudah Bengkel Teater Yogya,

Teater Kecil, dan Teater Populer serta Studiklub Teater Bandung.

Yakni generasi Teater Mandiri, Koma, Siapa Saja. Dan bahkan

rata-rata lebih baik dari generasi senior ketiga lulusan FTR seperti

disebut di awal tulisan ini.

* * *

PEMILIHAN naskah memang ikut menentukan kualitas

pertunjukan. Kebijaksanaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)

membebaskan pemilihan lakon di babak penyisihan dan final, telah

sangat membantu kreatifitas festivalis. Sehingga perombakan naskah

yang nekad seperti enam yahun lalu, tak perlu terjadi. Ketika itu

naskah diwajibkan dari hasil sayembara, yang tidak semua cocok

dengan grup dan banyak yang ditulis dengan jelek.

Kebebasan memilih naskah menyebabkan festivalis tahu

mengukur kemampuannya dan tahu kebutuhannya untuk berekspresi

melalui teater ini dalam FTR kali ini telah melahirkan dua peserta

yang memainkan naskah karangan sendiri. Sehingga penilaian

terhadap kedua grup ini harus dibedakan. Mereka adalah Bandar

Teater Jakarta dengan Mengejar Matahari karya dan sutradara

Ismail Sofian Shanie serta Reza Morta Vileni (18 tahun) dengan

karya yang disutradarai dan dimainkannya sendiri Gamang dari

Gom Aquila.

90

kelas XI SMA/SMK/MA/MAK

semester 2

Kedua pemuda ini sama-sama berbakat, mampu bermain dan

menyutradarai. Mereka memang menjanjikan masa depan dan

tahu bagaimana mengekspresikan dirinya, lingkungannya dengan

jujur dan selektif. Bila Ismail Berbicara tentang lingkungan social

yang bombrok karena kesulitan ekonomi, Reza lebih intim ketika

berbicara tentang dirinya, keluarganya, sekolahnya dan kawan-kawan

sepermainannya. Suatu tema yang jarang digarap dengan baik dan

bisa mewakili generasinya.

Pada beberapa p yang beragam, serta lain, masih terlihat

adanya kecenderungan memilih naskah untuk sekedar terlihat

adanya kecenderungan memilih naskah untuk sekedar mau gagah.

Misalnya Teater D,Rita yang memilih Raja Lear dari Shakespeare,

sementara para pemainnya tak pernah latihan vocal. Atau pada

Teater SS yang memilih Cermin Retak-retak karya Zbigniew

Herbert. Lakon ini berkisah tentang kematian Socrates, filusuf

Yunani (470-399 s.M) yang antidogmatisme, sambil mengajarkan

ironi dan dialektika kepada murid-muridnya. Meritz Hindra,

sutradara dan sekaligus pemeran Socrates, memilih lakon ini lebih

sebagai usaha autosatisfaction (menyenangkan diri sendiri) daripada

menghadapkan grupnya kepada tantangan untuk menghidangkan

seni pertunjukan yang beragam, yang tidak hanya sekedar berangan-

angan tentang pujangga Yunani kuno, yang entah seperti apa.

* * *

LEPAS dari masalah intern grup yang sudah kronis, ganti-ganti

pemain, kesulitan biaya, sponsor, tiada tempat latihan, organisasi

sembarang, managemen ngawur dan hanya rame-rame kalau ada

festival atau pertunjukan, secara umum kwalitas para festivalis bisa

disebut maju.

Maka sebenarnya sangat mengherankan bila masih saja ada

yang memimpikan kembalinya Rendra, Teguh Karya atau Arifin ke

dunia teater. Seolah-olah teater Indonesia akan mati tanpa mereka.

Memang orang-orang sejenis itu hanya sedikit dan jarang

sekali lahir. Tapi dengan kemampuan yang ditunjukkan dalam FTR

tahun ini, teater kita ternyata tetap tidak kurang walaupun belum

lebih. Bakat-bakat baru cukup banyak yang potensial, baik sebagai

pemain, sutradara, penata dekor atau pun penulis naskah. Apalagi

kita sudah punya Mandiri dan Koma.

Maka biarkanlah ketiga tokoh teater modern kita itu menikmati

masa istirahatnya, menikmati kenangan zaman keemasannya dan

menikmati “kenabiannya” dengan tenang, sambil manggut-manggut

dan senyum-senyum kepada setiap orang yang menyapanya. Mereka

tak perlu lagi dibujuk, dirayu, diejek atau digugat. “Tak perlu sedu

sedan itu,” kata Chairil Anwar.

91

Seni Budaya

* * *

Yang mesti sekarang dipikirkan barangkali, adalah control

terhadap kwalitas pertunjukan teater di TIM. Terutama mengingat

apa yang dihasilkan generasi senior ketiga lulusan FTR sepanjang

tahun lalu dan pementasan teater senior yang lain. Sebab ketika

tantangan kwalitas dalam berlomba, berfestival telah tidak ada

lagi setelah menjadi senior, maka beberapa grup tak lagi peduli

terhadap dirinya sendiri. Akibatnya, teater di TIM tetap miskin.

Miskin kreasi, miskin penonton dan miskin kritik, lalu untuk

pelipur lara, para pencinta teater lagi-lagi akan mengenang labelle

époque (masa-masa yang indah) ketika Rendra, Teguh dan Arifin

masih subur kreasi.

Control terhadap kwalitas itu tentu harus dilakukan terus dan

terus. Misalnya dengan Festival Teater Sepanjang Masa (FTSM).

Bentuknya bisa seperti diterapkan dalam FTR, yakni dengan sistem

kredit nilai. Bila dalam FTR setiap grup yang berhasil menjadi grup

terbaik selama tiga kali (tanpa berturut-turut) akan diangkat sebagai

“senior,” maka dalam FTSM setiap grup FTSM setiap grup yang

mengantongi nilai pertunjukan buruk tiga kali (tanpa berturut-turut),

harus dipecat dari kedudukannya sebagai senior dan ia harus ikut

FTR kembali. Atau grup itu dilarang main minimal selama setahun.

Ketentuan ini berlaku bagi kelompok senior seluruh generasi.

Lalu, siapa yang berwenang menilai? Pertama sekali tentu

Komite Teater DKJ, lalu anggota DKJ, lalu PKJ-TIM, atau melalui

pengumpulan pendapat penonton yang langsung dirugikan.

Tapi festival teater sepanjang masa ini hanya akan menjadi impian

belaka, bila tak satu pun anggota DKJ atau Komite Teaternya yang

mau menonton teater yang dimainkan di TIM, seperti yang selama

ini terus terjadi. Entah apa saja kesibukan mereka. Padahal bila

kondisi sekarang tak segera dibenahi, maka teater kita yang cukup

punya haraapan itu, akan tak terkontrol; ia bisa macet, menjadi

gombal dan ketengan. Sementara bila kritik di media massa selalu

dijadikan ukuran, maka ia – tanpa dikehendaki – bisa menjadi

terlalu menentukan. Padahal ktirik tidak infaillible, tidak selalu benar.

(CATATAN: Grup-grup festivalis yang menjadi dasar penilaian

dalam tulisan ini antara lain adalah: Teater Remaja Adinda (dengan

lakon Hamlet), Teater Sae (Umang-umang), Bersama (Sumur

Tanpa Dasar), Bandar Teater Jakarta (Mengejar Matahari), Teater

SS (Cermin Retak-retak), Gom Aquila (Gamang), Luka (Sandek),

dan Teater Egg (Terdakwa) serta beberapa yang lain.

(KOMPAS, Jum’at, 4 Maret 1983.)

92

kelas XI SMA/SMK/MA/MAK

semester 2

FESTIVAL TEATER ANAK SE-DUNIA

Oleh: Raphael Bonitz- Jerman

“Alam tidak tergantikan”

Anak-anak Indonesia sebagai duta budaya mereka. Di bawah

bulan, anak-anak bermain dan bermimpi. Apa yang terjadi jika

kejahatan akan mengambil bulan dan memakannya?

Teater Tanah Air dari Jakarta memainkan pertunjukan

Spectacle

“WOW” a Visual Theatre Performance

di Festival Teater Anak

Sedunia (Worl Kinder Theatre). Ini adalah contoh utama bagaimana

teater anak-anak dapat ditampilkan dengan penuh keceriaan dan

kegembiraan, dengan keseriusan dan keinginan anak-anak untuk

bermain teater dengan kesungguhan itulah alam yang tak tergantikan.

Tahap disain panggung hanya terdiri dari kain putih besar.

Layar tersebut digunakan “Teater Tanah Air” sebagai elemen

yang sangat efektif. Kunci adegan seperti perampokan bulan dan

pertarungan terakhir antara baik (diwakili anak-anak) dan jahat

(Raksasa pada layar) terlihat sangat nyata, sebuah langkah cerdik.

Oleh karena itu, adegan terasa sangat menakutkan, tetapi tidak ada

darah yang tertumpah sama sekali. Namun, ini tidak boleh disebut

bahwa pertunjukan ini tidak menakutkan. Tidak, pertunjukan ini

juga banyak adegan yang sangat lucu. Untuk memainkan adegan ke

adegan lain dan waktu untuk bersiap-siap adalah dengan teriakan

yang diiringi gerak pantomime. Para aktor muda menunjukkan

bakat komedi mereka yang luar biasa dan mendapatkan tepuk

tangan terus menerus. Hal lainnya yang mendukung pertunjukan ini

adalah music dan tarian. Mereka mengikuti cerita rakyat Indonesia,

Sumber: dokumen Teater Tanah Air

Gambar 8.1

Pementasan WOW di

Lingen (Ems)- Jerman, 2006

93

Seni Budaya

dan menjadi aktor yang sekaligus menjadi duta budaya Indonesia.

Lampu dan kostum yang indah dan mengintensifkan kesan tanpa

membosankan. Dengan bantuan dari anak yang terkecil, sangat

mungkin untuk mengalahkan iblis dan merebut kembali bulan,

hasilnya adalah: Jika ada sesuatu yang buruk terjadi, Anda tidak

mungkin untuk melakukannya sendirian tetapi dengan bergotong

royong. Anda bisa mendapatkan semua. Anak-anak juga mengerti

hasil pertunjukan ini, dan melompati panggung untuk menyelesaikan

kinerja penampilan dan pertunjukan mereka teman-teman dengan

tarian penutup. Tepuk tangan untuk pertunjukan yang sangat

menyegarkan. Indonesia sangat mempesona.

(Terjemahan: Miriam Lehmann, Shakti Harimurti)

94

kelas XI SMA/SMK/MA/MAK

semester 2

Daftar Pustaka

SENI RUPA

Bangun, Sem C, Sarnadi Adam, Panji Kurnia, 2005.

Hand Out Seni Lukis

. Jakarta: Program Semi

Que V Program Peningkatan Kualitas Pendidikan Sarjana dan Manajemen Perguruan Tinggi

Indonesia.

______, 2011.

Kritik Seni Rupa

. Cetakan ketiga, Bandung: Penerbit ITB.

Bell, Daniel.

The Theory of Mass Society

.

Comentary

. 23 July 1956. 75-83.

Carrol, Noell. 2005.

Theories of Art Today

. The University of Wisconsin Press.

Honnef , K

laus. 1992.

Contemporary Art

, Koln: Benedikt Taschen Verlag Gmbh.

Kulterman, Udo. 1988.

Art-Event Happening,

London: Mathew Miller Dunbar.

Lovejoy, Margot. 2004. Digital Current: Art in The Electronic Age. New York and London: Roudlege.

Papadakis, Andreas C. 1988.

Art in the Age Pluralism

, London: St. Martin Press.

Stangos, Nikos. 1994.

Concepts of Modern Art

, London: Thames and Hudson.

Supangkat, Jim.

Seni Rupa Indonesia dalam Peta Seni Rupa Dunia

,

Seni

, Jurnal Pengetahuan dan

Penciptaan Seni, Yogyakarta; BP ISI II/02 April 1992.

White

ley, Nigel. 1987.

“Pop Design

”,

Modernism to Mood

, London: The Design

Counci

l

Wilson, Brent G. 1971.

Evaluation of Learning in Art Education

.

Dalam B.S. Bloom,

Hand Book Formative

and Sumative Evaluation of Student Learning

. New York: McGraw Hill.

Internet refkypoetra.blogspot.com, diakses 27 November 2013

arsipfarahwardani.tumblr.com, diakses 28 November 2013

livew

orldegg.blogspot.com, diakses 28 November 2013

Straw

berige.Com, diakses 26 Oktober 2013

SENI TARI

Arini, Ni Ketut, 2012.

Teknik Tari Bali.

Denpasar : Yayasan Tari Bali Warini.

Brandon, James, R. 1967.

Theatre in South East Asia.

Cambridge, Massachusetts : Harvard

University Press.

Hawkins, Alma.

Moving from Within : A New Method for Dance Making.

Terj. Prof. Dr. I Wayan

Dibia. 2003.

BergerakMenurut Kata Hati.

Jakarta : MSPI

Daftar Pustaka

95

Seni Budaya

Holt, Claire. 1967.

Art in Indonesia : Continuities and Change. Ithaca,

New York : Cornell University

Press.juga terjemahannya oleh R.M. Soedarsono. 2000.

Melacak Jejak Perkembangan Seni di

Indonesia

. Bandung : MSPI.

Soedarsono, R.M. 2002.

Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.

Yogyakarta :GadjahMada

University Press.

Soedarsono, Prof. Dr. R.M.. 2003.

jejak-Jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara

. Bandung : MSPI

SENI TEATER

Achmad, A. Kasim,

Mengenal Teater Tradisional Indonesia.

Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2006.

Bandem, I Made & Sal Murgiyanto,

Teater Daerah Indonesia

. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.

Boleslavsky, Richard, 1960.

Enam Pelajaran Pertama bagi Calon Aktor.

Terjemahan Asrul Sani. Jakarta:

Djaja Sakti, 1960.

Brahim, 1068.

Drama dalam Pendidikan.

Jakarta: Gunung Agung.

Brockett, Oscar G,

The Theatre,

an Introduction,

USA. Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1969.

Cohen, Robert,

Theatre,

United States of America. Publishing Company 1240 Villa Street Mountain

View, California 940441, 1981.

Dahana, Radar Pancha.

Homo Theatrikus.

Magelang: Indonesia Tera,2001.

Haji Salleh, Muhammad,

Kumpulan Kritikan Sastera

:

Timur dan Barat.

Ampang/ Hulu Kelang,

Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka- Malaysia, 1987.

Hamzah, Adjib A,

Pengantar Bermain Drama.

Bandung: CV Rosda, 1971.

Langer, Suzanne,

Problematika Seni.

Terjemahan Widaryanto. Bandung: ASTI, 1988.

Oemarjati, Boen S,

Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia.

Jakarta: P.T. Gunung Agung, 1971.

Padmodarmaya, Pramana,

Tata dan Tehnik Pentas.

Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Pisk, Litz,

The Actor and His Body

96

kelas XI SMA/SMK/MA/MAK

semester 2

Rendra,

Tentang Bermain Drama.

Jakarta: Pustaka Jaya, 1976.

Riantiarno, N,

Menyentuh Teater.

Jakarta: MU:3 Books, 2003.

Sulaiman, Wahyu,

Seni Drama.

Jakarta: PT. Karya Uni Press, 1982.

Sumardjo, Jakob,

Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia.

Bandung: P.T. Citra

Aditya Bakti, 1992.

Waluyo, Herman J,

Drama, Teori dan Pengajarannya.

Yogyakarya: PTHanindita Graha, 2001.

SENI MUSIK

Bangun, Sem C. 2011.

Kritik Seni Rupa

. Cet. ke-3. Bandung: Penerbit ITB.

Hardjana, Suka. 2004.

Esai dan Kritik Musik

. Yogyakarta: Galang Press.

Kwant, E.C. 1975.

Manusia dan Kritik.

Terj. A. Soedarminto. Yogyakarta: Kanisius.

Sunardi, ST. 2012.

Vodka dan Birahi Seorang Nabi

. Yogyakarta: Jalasutra.

Diunduh dari BSE.Mahoni.com